Arti Dari Sebuah Amanah
Bismillahirrahmanirrahim…
Sebenarnya
bukan saatnya saya harus menulis malam ini. Tapi bagaimana lagi? Hasrat untuk
menulis begitu menggebu-gebu. Jadi walaupun sekarang masih dalam rangka
mneyelesaikan UAS, tak apalah rasanya jika saya meluangkan waktu 2-3 jam untuk
sekedar meluncurkan berbagai pemikiran yang tiba-tiba berkeliaran dengan
bebasnya di korteks cerebri ini. Dan secara reflex tangan ini bergerak
mengambil laptop di bawah tumpukan baju di lemari (sengaja di taruh di situ supaya
tak mengganggu konsentrasi, namun apa daya ^^)
Beberapa waku yang lalu saya ditanya. Ya… ada yang bertanya kepada saya. Beliau bertanya bagaimana pendapat saya tentang amanah? Atau kalau dijadikan soal dalam ujian Agama Islam redaksinya kira-kira seperti ini: Apa pendapat Anda tentang “amanah”??
Jika
saat itu saya benar-benar sedang berada dalam kondisi ujian, mungkin tanpa ragu
saya akan menjawab pengertian amanah sesuai dengan materi pelajaran yang telah
saya dapatkan, kalau perlu sesuai redaksi di dalam text booknya. Namun saat
itu, seketika lidah saya kelu untuk menjawab. “Speechless” kalau orang-orang
bilang.
Bukan karena apa-apa, tapi tentu saja karena saya memiliki “the meaning of amanah” versi saya sendiri. Dan mungkin setiap orang juga sudah tau kalau amanah itu adalah sebuah tanggung jawab, sebuah beban yang dipikul dan kelak akan dimintai laporan kinerjanya oleh manusia secara formal di dunia, namun sejatinya akan lebih diperhitungkan ketika ditanyai oleh Allah di akhirat. Amanah yang ibarat “facebook” atau “jejaring sosial” yang memiliki dua mata sisi yang berlawanan, bisa dijadikan sebagai jalan untuk meraih ridho Allah sekaligus bisa kita jadikan ajang untuk mendapatkan murkanya Allah.
Namun
saya tak tertarik untuk membahas amanah “versi” di atas kala itu. Maka
terlontarlah kata-kata (yang amat sangat susah untuk saya rangkai) kalau
“amanah itu adalah tarbiyah dari Allah. Amanah adalah penjaga kita, dan tentu
saja semua orang telah dititipi amanah dari Allah akan dipertanggungjawabkan
kelak”. Saya tak ingat lagi apa saja yang sampaikan kala itu, namun kira-kira
itulah inti dari narasi yang saya coba jelaskan dengan panjang lebar.
Kawan,
dulu… ketika di pertengahan tahun pertama kuliah, sebuah forum studi mencoba
merekrut saya untuk mengemban sebuah amanah. Kala itu saya bukanlah saya yang
sekarang. Begitu banyak ketidakpahaman yang berloncatan di pikiran ini,”Kenapa
saya?”, “Wah bagaimana ini?”, “what should I do then?”, “Hey!!! Kalian salah
orang, I’m not the right one!”.
Namun
akhirnya saya mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan sedikit melihat
potensi diri “yang mungkin” menjadi kausalitas perekrutan tersebut. Saya yang
dasarnya memang gamang, tanpa adanya “al fahmu”, menjalankan amanah itu
selayaknya orang buta yang mencoba mengenali pemetaan benda-benda yang ada di
sekitarnya. Saya mencoba mengikuti setiap alur yang ada. Diam-diam saya sempat
berfikir untuk menjalani semua ini apa adanya, tanpa semangat yang membuncah
karena saya fikir amanah ini bukanlah sesuatu yang penting, yang penting saya
sudah berusaha menjalankan dan whatever dengan hasilnya (naudzubillah). Diri
ini yang masih terlalu dini untuk sebuah amanah yang “berat” menyebabkan saya
menjadi ibaratnya seorang bayi premature. Seseorang yang dipercepat proses
kelahirannya. Tahun pertama menjadi “kaput” begitu berat….
Nah
ketika itulah proses “tarbiyah” dari Allah itu terlaksana. Perlahan namun pasti
“sesuatu” yang saya jalankan dengan penuh keberatan itu menyebabkan saya
menemukan hal yang luar biasa. Saya terus mencoba membuka diri untuk hal-hal
baru yang saya dapatkan ketika itu. Saya tetap berusaha mencoba menjadi “gelas
yang setengah kosong setengah berisi” ketika tarbiyah itu merekayasa dengan
indahnya pemahaman-pemahaman baru di dalam benak saya ini. Yang perlahan namun
pasti mengetuk hati yang sedikit tertutup awalnya.
Kawan,
amanah itu adalah titipan. Ya, titipan yang kelak akan diambil lagi… Akhirnya
ketika saya sudah mulai merasakan “asyik” nya menjalankan amanah itu, limit
waktu itu pun semakin mandekat. Sudah saatnya amanah itu diambil lagi dan akan
diberikan kepada orang yang berhak. Dan saya akhirnya hanya bisa termangu,
menyadari begitu banyak yang masih belum sempat saya lakukan dengan amanah saya
tersebut…..
Namun
perlu engkau garis bawahi kawan. Amanah itu bukan hanya sesuatu yang sering
kita temukan dalam serah terima jabatan, duduk mendapatkan sebuah gelar
kebanggaan. Amanah bukan hanya sekedar itu. Ingatkah engkau kawan? Malaikat,
tumbuhan dan hewan menolak untuk diberi amanah karena saking beratnya amanah
tersebut. Namun manusia menerimanya. Yah, diri kita ini adalah amanah dari
Allah. Akan mau dibawa kemana tubuh ini juga akan dipertanyakan,
dipertanggungjawabkan di depan penciptanya, sang pemilik amanah.
Amanah
tidak pernah salah memilih siapa yang akan memikulnya teman! Siap atau tidak ia
akan datang. Memang sedikit sekali option yang dapat kita pilih, menerima
amanah dengan penuh kesiapan, menerima amanah dalam keadaan tidak siap, atau
menyerah dan menjadi generasi-generasi yang terlupkan dan tergantikan? Memang
amanah adalah cobaan, dan Allah tidak akan mencoba dan menguji hambaNya di luar
batas kesanggupan dari manusia. Jadi untuk setiap amanah yang kita dapatkan
maka optimislah amanah itu akan kita pikul dengan baik dan maksimal sehingga
kelak ketika dipertanyakan oleh Allah, kita mampu menjawabnya dengan baik.
Lakukanlah
yang terbaik dan keluarkan semua potensi maksimal yang engkau miliki karen
asesungguhnya Allah lebih melihat proses bukan hasil.
Jadi bersemangatlah
dengan setiap amanah yang datang dan pergi silih berganti. Selama kita masih
hidup dan bernafas di bumi ini, inshaAllah akan selalu ada amanah di sekitar
kita.
Post a Comment for "Arti Dari Sebuah Amanah"